Wednesday, November 22, 2017

Sembilan Elemen Jurnalisme


Dalam abad baru, salah satu pertanyaan untuk masyarakat demokratis adalah apakah pers yang independen bisa bertahan hidup? Jawabannya akan bergantung pada apakah wartawan punya kejelasan dan keyakinan untuk menyampaikan arti pers independen, dan apakah, sebagai anggota masyarakat kita peduli? Lalu, muncul pertanyaan lain. Untuk apa ada jurnalisme? Jurnalisme hadir untuk membangun kewarganegaraan (citizenship). Jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga negara. Jurnalisme ada untuk demokrasi. Namun, jawaban sederhana ini tidak lagi memadai—karena akan meningkatkan rasa skeptis publik. Tidak saat ini tatkala teknologi komunikasi internet, di mana orang yang berbekal modem dan komputer, bisa menyatakan diri “melakukan jurnalisme”. Tidak saat ini tatkala teknologi telah menciptakan jurnalisme yang baru tempat norma-norma jurnalisme didefinisikan ulang, dan terkadang ditinggalkan.
  Beberapa orang berpendapat barangkalai definisi jurnalisme telah diledakkan oleh teknologi sehingga saat ini apa saja terlihat sebagai jurnalisme. Namun, dengan pengamatan yang lebih seksama, tujuan jurnalisme tidaklah ditentukan oleh teknologi, oleh wartawan, ataupun teknik yang dipakai. Prinsip dan tujuan jurnalisme ditentukan oleh sesuatu yang lebih mendasar—fungsi yang dimainkan berita dalam kehidupan orang.
 Banyak wajah jurnalisme telah berubah, tapi secara mengagumkan tujuan pers tetap terjaga walaupun tak selalu tersaji dengan baik. Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri. Dalam memenuhi tugas utama tersebut, jurnalisme harus memenuhi sembilan elemen atau Sembilan prinsip utama jurnalisme, mulai dari prinsip kebenaran hingga soal tanggung jawab pada nurani.
 Buku Elemen-elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel inidimaksudkan sebagai langkah pertama untuk membantu wartawan menyampaikan tuntutan bagi jurnalisme untuk memegang prinsip-prinsip yang saat pertama kali didengungkan telah melahirkan pers bebas. Berikut ini adalah kesembilan elemen-elemen jurnalisme yang harus dipenuhi dalam jurnalisme.

1.      Kebenaran
Pada prinsip pertama dalam jurnalisme, kebenaran adalah suatu hal yang harus dijunjung tinggi. “Kebenaran jurnalistik” ini—adalah lebih dari sekedar akurasi. Ini adalah pekerjaan sortir yang berkembang antara cerita pertama dan interaksinya di tengah publik, pembuat berita, dan wartawan sepanjang waktu. Prinsip pertama jurnalisme ini—pengejaran kebenaran tidak berat sebelah—adalah yang paling membedakannya dari semua bentuk komunikasi lain. Hal inilah yang dikejar jurnalisme—bentuk kebenaran yang bisa dipraktikkan dan fungsional. Ini bukan kebenaran dalam arti mutlak atau filosofis. Namun, jurnalisme bisa—dan harus—mengejar kebenaran di dalam pengertian yang bisa kita jalankan dari hari ke hari. Kebenaran di sini, dengan kata lain, fenomena yang rumit dan terkadang kontradiktif, tapi seperti yang terlihat melalui proses yang berjalan, jurnalisme bisa sampai pada kebenaran. Upaya jurnalisme untuk sampai pada kebenaran dalam dunia yang kabur adalah dengan memilah dari awal fakta dan informasi keliru yang ikut bersamanya, ketiadaan informasi, atau promosi. Setelah itu, ia membiarkan komunitas bereaksi, dan penyeleksian pun terjadi. Pencarian kebenaran akhirnya menjadi komunikasi dua arah.

2.      Loyalitas wartawan terhadap masyarakat
Tugas seorang wartawan tidak berhenti sampai mencari kebenaran saja. Kondisi seperti apa yang mereka perlukan agar bisa mengetahui kebenaran, dan juga untuk mengomunikasikannya kepada publik dalam cara yang dipercaya warga? Prinsip kedua adalah persoalan tentang loyalitas. Dalam buku Elemen-elemen Jurnalismeini dijelaskan bahwa pengumpul berita tidaklah seperti pegawai perusahaan lain. Mereka punya kewajiban sosial yang sesekali bisa benar-benar bersebrangan dengan  kepentingan utama majikan mereka, sekalipun di sisi lain, kewajiban ini justru merupakan tambang emas si majikan. Jadi, pengertian dari orang-orang yang mencari dan melaporkan berita tidak dihalangi saat menggali dan menyampaikan kebenaran—bahkan oleh risiko terganggunya kepentingan bisnis lain dari si pemilik media—adalah syarat mutlak penyampaian berita, tidak hanya akurat, tetapi juga persuasif. Inilah yang menjadi alasan masyarakat untuk mempercayai sebuah organisasi berita. Ini adalah sumber kredibilitas mereka. Ringkasnya, ini adalah aset sebuah perusahaan media dan orang-orang yang bekerja di dalamnya.

3.       Disiplin verifikasi
Sekalipun tidak dibakukan dalam kode mana pun, setiap wartawan seringkali bekerja dengan mengandalkan metode pengujian dan penyediaan informasi yang sangat pribadi—yakni disiplin verfikasinya sendiri. Praktik-praktik seperti mencari sekian saksi untuk sebuah peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak, tak lain adalah disiplin verifikasi. Pada akhirnya, disiplin verifikasi adalah ihwal yang memisahkan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi, atau seni. Hanya jurnalisme yang sejak awal berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi setepat-tepatnya.

4.       Independen terhadap pihak yang diliput
Dalam beberapa hal, elemen keempat ini lebih berakar dalam pragmatisme ketimbang teori. Seseorang mungkin membayangkan bahwa wartawan bisa melaporkan sekaligus menjadi peserta dalam suatu peristiwa, tapi realitasnya menjadi peserta mengaburkan semua tugas lain yang harus dilakukannya. Melihat yang terjadi dari perspektif lain akan kian sulit. Menjadi kian sulit pula, bahkan mungkin mustahil, untuk selanjutnya meyakinkan khalayak bahwa kita mendahulukan kepentingan mereka di atas kepentingan tim tempat kita bekerja di dalamnya. Dengan kata lain, kita bisa saja menjadi penasihat bayangan, penulis pidato, atau menerima uang dari mereka yang kita tulis beritanya. Namun, adalah sebuah arogansi, dan mungkin naif serta khayali, bahwa hal ini tidak berpengaruh pada pekerjaan kita sebagai wartawan. Oleh karena itu, langkah penting dalam mencari kebenaran dan memberi informasi kepada masyarakat bukanlah netralitas, melainkan independensi.

5.      Wartawan sebagai pemantau independen kekuasaan.
Pada prinsip kelima ini sering kali disalahpahami, bahkan oleh wartawan, dalam mengartikannya sebagai “susahkan orang yang senang”. Lebih lanjut, prinsip anjing penjaga (watchdong) tengah terancam dalam jurnalisme dewasa ini oleh penggunaannya yang berlebihan, dan oleh peran anjing penjaga palsu yang lebih ditujukan untuk menyajikan sensasi ketimbang pelayanan publik. Barangkali yang bahkan lebih serius lagi, peran anjing penjaga terancam oleh jenis baru konglomerasi perusahaan, yang secara efektif bisa merusak independensi yang dibutuhkan pers untuk menjalankan peran pemantauan mereka. Wartawan saat ini terus melihat peran anjing penjaga sebagai bagian utama pekerjaan mereka. Hampir sembilan dari sepuluh wartwan percaya bahwa pers “mencegah para pemimpin politik melakukan hal-hal yang saharusnya tidak mereka lakukan”, dan peran anjing penjaga berada di urutan kedua, setelah memberi informasi kepada publik, di antara jawaban yang diberikan wartawan sebagai hal yang membedakan profesi mereka dengan jenis komunikasi yang lain.

6.      Jurnalisme sebagai forum publik
Jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Namun, di zaman baru ini, kian penting dan bukannya berkurang, bahwa diskusi publik harus dibangun di atas prinsip-prinsip yang sama sebagaimana hal lain dalam jurnalisme—kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tak punya sikap hormat pada fakta akan gagal memberi informasi. Semua bentuk medium yang dipakai wartawan sehari-hari bisa berfungsi untuk menciptakan forum di mana publik diingatkan akan masalah-masalah penting mereka sedemikian rupa sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap. Rasa ingin tahu yang manusiawi membuat orang bertanya-tanya sesudah membaca liputan acara-acara yang sudah terjadwal, pembeberan penyimpangan, atau reportase tentang suatu kecenderungan yang berkembang. Saat publik mulai bereaksi terhadap pembeberan ini, suara publik pun mengisi komunitas—di  acara radio yang menyiarkan telepon dari pemirsa, acara bincang-bincang televisi, opini pada halaman op-ed (opinion and editorial page). Saat suara-suara ini terdengar oleh yang berwenang, mereka menaruh perhatian untuk memahami perkembangan opini publik seputar suatu objek. Proses ini setiap hari mengulang forum kuno dalam masyarakat modern yang di dalamnya demokrasi dunia paling awal dibentuk.

7.      Menarik dan relevan
Salah satu tugas wartawan adalah menemukan cara membuat hal-hal yang penting menjadi menarik untuk setiap cerita, dan menemukan campuran yang tepat dari yang serius dan kurang serius yang ada di dalam laporan berita pada hari mana pun. Jurnalisme adalah bertutur dengan sebuah tujuan untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan orang dalam memahami dunia. Tantangan pertama adalah menemukan informasi yang dibutuhkan orang untuk menjalani hidup mereka. Kedua adalah membuatnya bermakna, relevan, dan enak disimak. Dengan kata lain, tanggung jawab wartawan bukan sekedar menyediakan informasi, tapi menghadirkannya sedemikian rupa sehingga orang tertarik untuk menyimak.

8.      Menjadikan berita komprehensif dan proporsional
Jurnalisme adalah kartografi modern. Ia menghasilkan sebuah peta bagi warga untuk mengambil keputusan tentang kehidupan mereka sendiri. Itulah manfaat dan alasan ekonomi kehadiran juranalisme. Konsep kartografi ini membantu menjelaskan apa yang menjadi tanggung jawab liputan jurnalistik. Seperti halnya peta, nilai jurnalisme bergantung pada kelengkapan dan proporsionalitas. Wartawan yang menghabiskan waktu untuk pengadilan sensional akan skandal selebritas dengan tidak sewajarnya—karena mereka berpikir ini akan laku—adalah seperti kartografer yang menggambar Inggris atau Spanyol dengan ukuran Greenland yang lebih populer. Dalam jangka pendek secara ekonomi ini memang menguntungkan, tapi menyesatkan orang yang bepergian dan akhirnya merusak kredibilitas si pembuat peta. Wartawan yang menulis apa yang “ia yakin hal ini benar”, tanpa sungguh-sungguh mengecek terlebih dahulu, layaknya sama dengan seniman yang menggambar monster laut di ujung jauh Dunia Baru. Jurnalisme yang meninggalkan begitu banyak berita yang bergulir ibarat peta yang gagal memberi tahu kepada orang yang bepergian semua jalur lain yang ada sepanjang perjalanan itu. Mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuat peta membantu kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Hal ini tidak hanya berlaku untuk sebuah berita. Sebuah halaman depan atau sebuah siaran berita yang lucu dan menarik, tapi tak mengandung apa pun yang signifikan adalah pemutarbalikan.

9.      Wartawan bertanggung jawab pada nurani
Pada akhirnya, jurnalisme adalah masalah karakter. Mengingat tidak ada hukum jurnalisme, tak ada peraturan, tak ada surat izin, dan tak ada pengaturan diri yang resmi, dan mengingat jurnalisme bisa eksploitatif, beban berat terletak pada etika dan penilaian dari wartawan dan organisasi secara individu tempat wartawan itu bekerja. Setiap wartawan—dari redaksi hingga dewan direksi—harus punya rasa etika dan tanggung jawab personal—sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa. Dalam buku Elemen-elemen Jurnalisme tersebut memang tidak ada satu bab tersendiri mengenai etika. Alasannya karena dimensi moral, kualitas penilaian, nada, selera, dan karakter inilah yang tersirat dalam usaha mengapa kita memilih suatu majalah, siaran, atau situs web dibandingkan dengan yang lain. Etika teranyam dalam setiap elemen jurnalisme, dan kita sebagai warga sering lebih cepat merasakan hal ini daripada wartawan itu sendiri, yang terkadang menempatkan etika sebagai topik yang terisolasi.


Jika dikaitkan dengan kondisi media massa saat ini, banyak media yang tidak mengikuti elemen-elemen jurnalisme yang seharusnya menjunjung tinggi kode etik jurnalisme. Terima kasih telah membaca😁.