Dalam abad baru, salah satu pertanyaan untuk
masyarakat demokratis adalah apakah pers yang
independen bisa bertahan hidup? Jawabannya akan bergantung pada apakah wartawan
punya kejelasan dan keyakinan untuk menyampaikan arti pers independen, dan
apakah, sebagai anggota masyarakat kita peduli? Lalu, muncul pertanyaan lain.
Untuk apa ada jurnalisme? Jurnalisme hadir untuk membangun kewarganegaraan (citizenship).
Jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga negara. Jurnalisme ada untuk
demokrasi. Namun, jawaban sederhana ini tidak lagi memadai—karena akan
meningkatkan rasa skeptis publik. Tidak saat ini tatkala teknologi komunikasi
internet, di mana orang yang berbekal modem dan komputer, bisa menyatakan diri
“melakukan jurnalisme”. Tidak saat ini tatkala teknologi telah menciptakan
jurnalisme yang baru tempat norma-norma jurnalisme didefinisikan ulang, dan
terkadang ditinggalkan.
Beberapa orang berpendapat barangkalai definisi jurnalisme telah diledakkan
oleh teknologi sehingga saat ini apa saja terlihat sebagai jurnalisme. Namun,
dengan pengamatan yang lebih seksama, tujuan jurnalisme tidaklah ditentukan
oleh teknologi, oleh wartawan, ataupun teknik yang dipakai. Prinsip dan tujuan
jurnalisme ditentukan oleh sesuatu yang lebih mendasar—fungsi yang dimainkan
berita dalam kehidupan orang.
Banyak wajah jurnalisme telah berubah, tapi secara mengagumkan tujuan pers
tetap terjaga walaupun tak selalu tersaji dengan baik. Tujuan utama jurnalisme
adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup
merdeka dan mengatur diri sendiri. Dalam memenuhi tugas utama tersebut,
jurnalisme harus memenuhi sembilan elemen atau Sembilan prinsip utama
jurnalisme, mulai dari prinsip kebenaran hingga soal tanggung jawab pada
nurani.
Buku Elemen-elemen Jurnalisme karya Bill Kovach
dan Tom Rosenstiel inidimaksudkan sebagai langkah pertama untuk membantu
wartawan menyampaikan tuntutan bagi jurnalisme untuk memegang prinsip-prinsip
yang saat pertama kali didengungkan telah melahirkan pers bebas. Berikut ini
adalah kesembilan elemen-elemen jurnalisme yang harus dipenuhi dalam
jurnalisme.
1.
Kebenaran
Pada prinsip pertama dalam jurnalisme, kebenaran adalah
suatu hal yang harus dijunjung tinggi. “Kebenaran jurnalistik” ini—adalah lebih
dari sekedar akurasi. Ini adalah pekerjaan sortir yang berkembang antara cerita
pertama dan interaksinya di tengah publik, pembuat berita, dan wartawan
sepanjang waktu. Prinsip pertama jurnalisme ini—pengejaran kebenaran tidak
berat sebelah—adalah yang paling membedakannya dari semua bentuk komunikasi
lain. Hal inilah yang dikejar jurnalisme—bentuk kebenaran yang bisa
dipraktikkan dan fungsional. Ini bukan kebenaran dalam arti mutlak atau
filosofis. Namun, jurnalisme bisa—dan harus—mengejar kebenaran di dalam
pengertian yang bisa kita jalankan dari hari ke hari. Kebenaran di sini, dengan
kata lain, fenomena yang rumit dan terkadang kontradiktif, tapi seperti yang
terlihat melalui proses yang berjalan, jurnalisme bisa sampai pada kebenaran.
Upaya jurnalisme untuk sampai pada kebenaran dalam dunia yang kabur adalah
dengan memilah dari awal fakta dan informasi keliru yang ikut bersamanya,
ketiadaan informasi, atau promosi. Setelah itu, ia membiarkan komunitas
bereaksi, dan penyeleksian pun terjadi. Pencarian kebenaran akhirnya menjadi
komunikasi dua arah.
2.
Loyalitas
wartawan terhadap masyarakat
Tugas seorang wartawan tidak berhenti sampai mencari
kebenaran saja. Kondisi seperti apa yang mereka perlukan agar bisa mengetahui
kebenaran, dan juga untuk mengomunikasikannya kepada publik dalam cara yang
dipercaya warga? Prinsip kedua adalah persoalan tentang loyalitas. Dalam
buku Elemen-elemen Jurnalismeini dijelaskan bahwa pengumpul berita
tidaklah seperti pegawai perusahaan lain. Mereka punya kewajiban sosial yang
sesekali bisa benar-benar bersebrangan dengan kepentingan utama majikan
mereka, sekalipun di sisi lain, kewajiban ini justru merupakan tambang emas si
majikan. Jadi, pengertian dari orang-orang yang mencari dan melaporkan berita
tidak dihalangi saat menggali dan menyampaikan kebenaran—bahkan oleh risiko
terganggunya kepentingan bisnis lain dari si pemilik media—adalah syarat mutlak
penyampaian berita, tidak hanya akurat, tetapi juga persuasif. Inilah yang
menjadi alasan masyarakat untuk mempercayai sebuah organisasi berita. Ini
adalah sumber kredibilitas mereka. Ringkasnya, ini adalah aset sebuah
perusahaan media dan orang-orang yang bekerja di dalamnya.
3.
Disiplin
verifikasi
Sekalipun tidak dibakukan dalam kode mana pun, setiap
wartawan seringkali bekerja dengan mengandalkan metode pengujian dan penyediaan
informasi yang sangat pribadi—yakni disiplin verfikasinya sendiri.
Praktik-praktik seperti mencari sekian saksi untuk sebuah peristiwa, membuka
sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak, tak
lain adalah disiplin verifikasi. Pada akhirnya, disiplin verifikasi adalah
ihwal yang memisahkan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi, atau seni.
Hanya jurnalisme yang sejak awal berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi setepat-tepatnya.
4.
Independen terhadap pihak yang diliput
Dalam beberapa hal, elemen keempat ini lebih berakar dalam
pragmatisme ketimbang teori. Seseorang mungkin membayangkan bahwa wartawan bisa
melaporkan sekaligus menjadi peserta dalam suatu peristiwa, tapi realitasnya
menjadi peserta mengaburkan semua tugas lain yang harus dilakukannya. Melihat
yang terjadi dari perspektif lain akan kian sulit. Menjadi kian sulit pula,
bahkan mungkin mustahil, untuk selanjutnya meyakinkan khalayak bahwa kita mendahulukan
kepentingan mereka di atas kepentingan tim tempat kita bekerja di dalamnya.
Dengan kata lain, kita bisa saja menjadi penasihat bayangan, penulis pidato,
atau menerima uang dari mereka yang kita tulis beritanya. Namun, adalah sebuah
arogansi, dan mungkin naif serta khayali, bahwa hal ini tidak berpengaruh pada
pekerjaan kita sebagai wartawan. Oleh karena itu, langkah penting dalam mencari
kebenaran dan memberi informasi kepada masyarakat bukanlah netralitas,
melainkan independensi.
5.
Wartawan
sebagai pemantau independen kekuasaan.
Pada prinsip kelima ini sering kali disalahpahami, bahkan
oleh wartawan, dalam mengartikannya sebagai “susahkan orang yang senang”. Lebih
lanjut, prinsip anjing penjaga (watchdong) tengah terancam dalam
jurnalisme dewasa ini oleh penggunaannya yang berlebihan, dan oleh peran anjing
penjaga palsu yang lebih ditujukan untuk menyajikan sensasi ketimbang pelayanan
publik. Barangkali yang bahkan lebih serius lagi, peran anjing penjaga terancam
oleh jenis baru konglomerasi perusahaan, yang secara efektif bisa merusak
independensi yang dibutuhkan pers untuk menjalankan peran pemantauan mereka.
Wartawan saat ini terus melihat peran anjing penjaga sebagai bagian utama
pekerjaan mereka. Hampir sembilan dari sepuluh wartwan percaya bahwa pers
“mencegah para pemimpin politik melakukan hal-hal yang saharusnya tidak mereka
lakukan”, dan peran anjing penjaga berada di urutan kedua, setelah memberi
informasi kepada publik, di antara jawaban yang diberikan wartawan sebagai hal
yang membedakan profesi mereka dengan jenis komunikasi yang lain.
6.
Jurnalisme
sebagai forum publik
Jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan
kompromi publik. Namun, di zaman baru ini, kian penting dan bukannya berkurang,
bahwa diskusi publik harus dibangun di atas prinsip-prinsip yang sama
sebagaimana hal lain dalam jurnalisme—kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum
yang tak punya sikap hormat pada fakta akan gagal memberi informasi. Semua
bentuk medium yang dipakai wartawan sehari-hari bisa berfungsi untuk
menciptakan forum di mana publik diingatkan akan masalah-masalah penting mereka
sedemikian rupa sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil
sikap. Rasa ingin tahu yang manusiawi membuat orang bertanya-tanya sesudah membaca
liputan acara-acara yang sudah terjadwal, pembeberan penyimpangan, atau
reportase tentang suatu kecenderungan yang berkembang. Saat publik mulai
bereaksi terhadap pembeberan ini, suara publik pun mengisi komunitas—di
acara radio yang menyiarkan telepon dari pemirsa, acara bincang-bincang
televisi, opini pada halaman op-ed (opinion and editorial page). Saat
suara-suara ini terdengar oleh yang berwenang, mereka menaruh perhatian untuk
memahami perkembangan opini publik seputar suatu objek. Proses ini setiap hari
mengulang forum kuno dalam masyarakat modern yang di dalamnya demokrasi dunia
paling awal dibentuk.
7.
Menarik dan
relevan
Salah satu tugas wartawan adalah menemukan cara membuat
hal-hal yang penting menjadi menarik untuk setiap cerita, dan menemukan
campuran yang tepat dari yang serius dan kurang serius yang ada di dalam
laporan berita pada hari mana pun. Jurnalisme adalah bertutur dengan sebuah
tujuan untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan orang dalam memahami dunia.
Tantangan pertama adalah menemukan informasi yang dibutuhkan orang untuk
menjalani hidup mereka. Kedua adalah membuatnya bermakna, relevan, dan enak
disimak. Dengan kata lain, tanggung jawab wartawan bukan sekedar menyediakan
informasi, tapi menghadirkannya sedemikian rupa sehingga orang tertarik untuk
menyimak.
8.
Menjadikan
berita komprehensif dan proporsional
Jurnalisme adalah kartografi modern. Ia menghasilkan sebuah
peta bagi warga untuk mengambil keputusan tentang kehidupan mereka sendiri.
Itulah manfaat dan alasan ekonomi kehadiran juranalisme. Konsep kartografi ini
membantu menjelaskan apa yang menjadi tanggung jawab liputan jurnalistik.
Seperti halnya peta, nilai jurnalisme bergantung pada kelengkapan dan
proporsionalitas. Wartawan yang menghabiskan waktu untuk pengadilan sensional
akan skandal selebritas dengan tidak sewajarnya—karena mereka berpikir ini akan
laku—adalah seperti kartografer yang menggambar Inggris atau Spanyol dengan
ukuran Greenland yang lebih populer. Dalam jangka pendek secara ekonomi ini memang
menguntungkan, tapi menyesatkan orang yang bepergian dan akhirnya merusak
kredibilitas si pembuat peta. Wartawan yang menulis apa yang “ia yakin hal ini
benar”, tanpa sungguh-sungguh mengecek terlebih dahulu, layaknya sama dengan
seniman yang menggambar monster laut di ujung jauh Dunia Baru. Jurnalisme yang
meninggalkan begitu banyak berita yang bergulir ibarat peta yang gagal memberi
tahu kepada orang yang bepergian semua jalur lain yang ada sepanjang perjalanan
itu. Mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuat peta membantu kita melihat bahwa
proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Hal ini tidak hanya berlaku
untuk sebuah berita. Sebuah halaman depan atau sebuah siaran berita yang lucu
dan menarik, tapi tak mengandung apa pun yang signifikan adalah pemutarbalikan.
9.
Wartawan
bertanggung jawab pada nurani
Pada akhirnya, jurnalisme adalah masalah karakter. Mengingat
tidak ada hukum jurnalisme, tak ada peraturan, tak ada surat izin, dan tak ada
pengaturan diri yang resmi, dan mengingat jurnalisme bisa eksploitatif, beban
berat terletak pada etika dan penilaian dari wartawan dan organisasi secara
individu tempat wartawan itu bekerja. Setiap wartawan—dari redaksi hingga dewan
direksi—harus punya rasa etika dan tanggung jawab personal—sebuah panduan
moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan
sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang
serupa. Dalam buku Elemen-elemen Jurnalisme tersebut memang
tidak ada satu bab tersendiri mengenai etika. Alasannya karena dimensi moral,
kualitas penilaian, nada, selera, dan karakter inilah yang tersirat dalam usaha
mengapa kita memilih suatu majalah, siaran, atau situs web dibandingkan dengan
yang lain. Etika teranyam dalam setiap elemen jurnalisme, dan kita sebagai
warga sering lebih cepat merasakan hal ini daripada wartawan itu sendiri, yang
terkadang menempatkan etika sebagai topik yang terisolasi.
Jika dikaitkan dengan kondisi media massa saat ini, banyak media yang tidak mengikuti elemen-elemen jurnalisme yang seharusnya menjunjung tinggi kode etik jurnalisme. Terima kasih telah membaca😁.